LENTERATIMES.com - Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dan Konsultan Aritmia di Eka Hospital BSD, dr. Ignatius Yansen Ng, Sp.JP(K), FIHA, mengatakan, rata-rata Anak Muda yang berusia di bawah 35 tahun meninggal karena aritmia jantung. Ini tidak sama dengan seseorang yang mengalami serangan jantung.
Menurut dr. Yansen, serangan jantung biasanya terjadi pada usia 35 tahun ke atas. “Berdasarkan survei, ternyata orang yang meninggal karena penyakit jantung di bawah 35 tahun itu karena henti jantung atau aritmia. Tapi kalau di atas 35 tahun biasanya karena serangan jantung,” ungkap dr. Yansen, Senin 27 Februari 2023, seperti dilansir dari Suara.com.
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan salah satu kondisi yang sangat berbahaya. Meski jumlah kasusnya kecil, jika kondisinya berulang dan tidak ditangani tepat waktu, maka akan berakibat fatal.
Baca Juga: Mengatur Keuangan untuk Modal Nikah Penting Banget, Simak 4 Tips Ini
dr. Yansen menjelaskan bahwa terjadinya aritmia sebagian besar disebabkan genetika atau kelainan bawaan Anak Muda itu sendiri.
Kondisi ini biasanya diketahui saat elektrokardiogram (EKG) dilakukan saat pemeriksaan. Selain itu, untuk aritmia juga dibagi menjadi dua bagian: detak jantung lambat dan detak jantung cepat.
Denyut jantung lambat
Detak jantung yang lambat biasanya terjadi pada orang dewasa yang lebih tua. Karena detak jantung lambat, aliran darah ke otak berkurang. Seperti inilah rasanya pusing, berputar, atau bahkan hilang kesadaran.
Baca Juga: Penampilan Shafeea Ahmad di Ultah ke-12 Jadi Sorotan Warganet, Kakak-kakaknya Ucapkan Ini
Denyut jantung
Aritmia juga dapat menyebabkan detak jantung yang cepat. Dalam hal ini, mereka akan merasa tidak nyaman di dalam. Guncangan ini dapat terjadi selama beberapa menit, jam, atau bahkan berhari-hari.
Namun demikian, dr. Yansen menekankan bahwa aritmia adalah kondisi reversibel. Pasien aritmia juga dapat melakukan aktivitas seperti orang normal. Beberapa dari perawatan ini termasuk ablasi kateter, implantasi invasif minimal, dan alat pacu jantung.
“Sebenernya kasusnya enggak banyak, kurang dari satu persen, tapi untuk yang satu persen itu cukup fatal. Makannya perlu diobati dengan melakukan kateter ablasi, pemasangan micra, atau pacemaker. Itu bisa sembuh total dan permanen,” jelas dr. Yansen.
Baca Juga: Akui Haus Perhatian, Aldila Jelita Blak-blakan Soal Rumah Tangganya Bersama Indra Bekti