LENTERATIMES.com - Tidak seperti pria, perempuan tidak boleh sunat. Selain melanggar hak dasar perempuan dari kajian medis dan agama, praktek female genital mutilation/cutting (FGM) atau yang biasa dikenal dengan sunat perempuan tidak baik bagi perempuan bahkan merugikan.
“P2GP atau sunat perempuan merupakan praktik berbahaya yang secara eksklusif ditujukan kepada perempuan dan anak perempuan yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan hingga memicu depresi dan trauma. P2GP melanggar hak dasar perempuan untuk memperoleh kesehatan, integritas tubuh, serta bebas dari diskriminasi dan perlakuan kejam atau upaya merendahkan martabat,” kata Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan.
Dalam webinar bertajuk '‘Pencegahan FGM/C atau Perlukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP)" pada 4 September 2020 yang digelar secara daring oleh Kementerian PPPA, Indra menyatakan bahwa Pemerintah berkomitmen memberantas segala bentuk praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan mutilasi perempuan pada periode sebelum 2030 adalah salah satu tujuan yang salah dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Oleh karena itu, Kementerian PPPA mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama menghentikan praktik FGM.
Baca Juga: Memakan 2 Korban Jiwa, Berikut Kronologi Kecelakaan di Proyek Kereta Cepat
“Kemen PPPA telah memiliki Roadmap dan rencana strategis pencegahan sunat perempuan dengan target pencapaian hingga tahun 2030, dan kita sangat berharap seluruh anak-anak perempuan dan perempuan di Indonesia terlindungi dari praktik-praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan sunat perempuan,” papar Indra.
Dari segi medis, dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Muhammad Fadli dengan tegas menyatakan perempuan tidak perlu disunat, berbeda dengan laki-laki.
“Alhamdulillah organ genitalia perempuan itu terlahir sudah optimal atau sempurna. Berbeda dengan laki-laki yang memang harus di sunat terutama dari sisi medis untuk menghindari masalah kesehatan di kemudian hari. Sunat pada laki-laki memang memiliki SOP dan praktiknya seragam. Khitan pada perempuan itu tidak memiliki SOP dan tidak ada yang seragam di berbagai daerah. Oleh karena itu praktiknya tidak boleh dilakukan,” ujar Dokter Fadli.
Baca Juga: Ada Grup WA 'Duren Tiga' Usai Pembunuhan Brigadir J, Siapa Saja di Dalamnya?
Dokter Fadli menjelaskan sunat perempuan sangat berbahaya karena merupakan tindakan yang dengan sengaja mengubah atau melukai organ reproduksi wanita tanpa ada indikasi medis. Ini dianggap benar-benar menyebabkan masalah kesehatan segera dan komplikasi jangka panjang.
“Khitan atau sunat pada perempuan secara medis tidak memiliki dampak yang positif atau manfaat bahkan tindakan sunat perempuan ini memiliki komplikasi atau dampak yang berat berupa akut maupun kronis. Dampaknya luar biasa bisa terjadi infeksi, pendarahan, sulit buang air kecil, nyeri, infeksi saluran kemih, bahkan hingga kematian. Efeknya untuk perempuan dewasa maupun anak-anak sama saja,” papar Dokter Fadli.
Jika menelaah dari perspektif agama, khususnya Islam, KH. Faqihuddin Abdul Kodir dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) menjelaskan bahwa hampir semua fatwa besar ulama dunia saat ini melarang FGM. Perintah pembunuhan terbaru bahkan dikeluarkan pada Februari 2020 oleh Institut Perintah Pembunuhan Mesir dan Universitas Al-Azhar di Mesir, setelah seorang gadis meninggal setelah disunat pada Januari 2020. Mesir pertama kali melarang sunat perempuan pada 2008.
Baca Juga: Simak Nih, Cara Bersihkan Kaca Mata yang Buram Jadi Kinclong!
“Fatwa itu terang benderang dan dengan argumentasi kuat menyatakan khitan perempuan bukan bagian dari syariah karena Hadist dan Qur’annya tidak tegas. Itu (sunat perempuan) bagian dari kebiasaan atau tradisi yang penjelasannya harus dikembalikan kepada yang berkompeten yaitu kedokteran. Medislah yang akan bilang khitan perempuan itu baik atau tidak, dan berkali-kali pertemuan seluruh ahli medis mengatakan khitan perempuan tidak ada manfaatnya bahkan bisa membahayakan,” tutur Kiai Faqih.***