LENTERATIMES.COM - Para kandidat pada debat capres terakhir pada Minggu, 4 Februari 2024 dinilai main aman. Semua jawaban soal pendidikan dinilai biasa saja tanpa terobosan.
Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, JPPI mencatat ada beberapa topik pendidikan yang mencuat saat debat.
Sayangnya, tidak satu pun dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para kandidat.
"Semua jawaban bersifat biasa-biasa saja, tanpa ada terobosan baru dan tawaran sebuah sistem pendidikan yang lebih berkeadilan, ujar Ubaid dalam keterangan yang diterima, Senin, 5 Februari 2024.
Baca Juga: Dukungan Masyarakat Terus Meningkat, Rudy Susmanto Yakin Pasangan Prabowo Gibran Menang Satu Putaran
Pertama, keberpihakan anggaran pendidikan 20 persen tidak jelas, untuk apa dan untuk siapa? Soal anggaran pendidikan 20 persen ini disinggung dalam pertanyaan saat debat baru dimulai.
Hal ini dikaitkan dengan kesejahteraan dan kompetensi guru. Sayangnya, ia menilai semua kandidat gagal menjawab pertanyaan ini dengan inovasi gagasan atau sistem baru yang lebih berkeadilan bagi guru dan juga akan meningkatkan kompetensi guru dalam mendidik.
"Apa yang bisa dilakukan oleh Kemendikbudristekdikti dengan anggaran 20 persen itu? Data tahun 2023 (berdasarkan Perpres Nomor 130 tahun 2022 tentang Rincian APBN tahun 2023) menunjukkan bahwa dari toal anggaran pendidikan Rp612,2 Triliun, Kemendikbudristek hanya mengelola 13 persen atau setara dengan Rp. 80,22 Triliun. Lalu sisanya kemana? Jadi sebagian besarnya adalah dialokasikan ke Kementerian atau lembaga lain plus pembiayaan pendidikan (37 persen) dan juga ditransfer ke daerah plus dana desa (50 persen)," ungkapnya.
Ia menilai, selama proporsi anggaran pendidikan semacam ini, maka meski angkanya 20 persen dari APBN, tapi nyatanya tidak menjadikan program pendidikan dasar dan menengah atau Wajib Belajar 12 Tahun sebagai perioritas.
Akibatnya, kualitas peserta didik akan terus jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga kita.
Kedua, problem guru yang yang tidak sejahtera dan kompetensinya yang masih rendah, potensial akan berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Problem ini diduga akan berkelanjutan, sebab dalam menjawab pertanyaan terkait dengan masalah ini, semua kandidat tidak punya tawaran yang inovatif untuk menjawab masalah yang sudah turun-temurun diwariskan oleh presiden sebelumnya.
"Anies bilang akan angkat guru honorer. Tapi sistem yang ditawarkan apa? Bagaimana caranya? Masih tidak jelas. Kita tahu bahwa sejak zaman pemerintahan SBY sampai Jokowi, janjinya juga begitu. Tapi apa kenyataanya? Hingga kini, masih jutaan guru honorer yang nasibnya masih terkatung-katung, bahkan rencananya (menurut Kemendikbudristekdikti yang sekarang) mereka akan dimasukkan dalam marketplace. Ini sangat berbahaya dan menginjak-injak profesi guru, sebab tidak adanya sebuah sistem yang menjaminan kesejahteraan dan perlindungan atas profesi guru," terangnya.
Baca Juga: Performa Tinggi dan Desain Premium: Ulasan Lengkap Vivo Y100 5G di Indonesia