LENTERATIMES.COM - Fatwa salam lintas agama yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuai banyak sorotan.
Seperti diketahui, lewat fatwa salam lintas agama, MUI melarang ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam lewat Ijtima Ulama Komisi Fatwa ke-VIII pada 2024 di Islamic Center Sungailiat, Bangka, akhir Mei 2024.
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie ikut merespon polemik fatwa salam lintas agama tersebut.
Menurutnya, perlu didudukkan perkara tersebut pada dua ranah yang berbeda, yakni arena internum dan eksternum.
Profesor Tholabi Kharlie mengatakan, polemik atas fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama disebabkan bercampurnya forum internum dan forum eksternum dalam merespons fatwa tersebut.
Ia menjelaskan, ada perkara yang bersifat internal umat beragama, ada pula perkara yang sifatnya eksternal atau antarumat beragama.
"Fatwa konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam," ujar Profesor Tholabi Kharlie, Sabtu, 1 Juni 2024.
Wakil Rektor bidang Akademik UIN Jakarta ini menegaskan fatwa tersebut tentu tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam.
Konsekuensinya, fatwa tersebut tidak tepat jika ditempatkan dalam forum eksternum yang tempatnya di ruang publik.
"Polemik yang muncul disebabkan fatwa tersebut dibaca dan ditempatkan pada forum eksternum atau ruang publik," ungkapnya.
Profesor Tholabi Kharlie menilai ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, tapi ada kalanya juga kaidah agama tidak dapat diakomodasi melalui kaidah hukum.
Fatwa MUI ini dianggapnya masuk kategori kaidah agama yang tak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum (positif).
"Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum. Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya. Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama," jelasnya.
Ia juga mengingatkan tentang relativitas fatwa. Menurutnya, sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tentu tidak bersifat mengikat dan absolut. Kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa.
"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," terangnya.
Artikel Terkait
Gelar Ijtima Ulama, MUI Bogor Tegaskan Tolak LGBT
Heboh! Warung Bakso di Bogor di Gerebek Warga Saat Puasa, Begini Tanggapan MUI
Sebanyak 9,6 Juta Ujaran Kebencian Dihilangkan Facebook pada 2020, Pentingnya Merajut Toleransi di Dunia Maya
Pemuda Katolik Kota Bogor dan Cianjur Gelar Sosialisasi Moderasi Beragama